Oleh: M. Ikhsanudin
Suatu pagi, saya nderekke Mbah Warson (KH. Ahmad Warson Munawwir), sang penulis kamus Al Munawwir, acara di Langitan, Jawa Timur dengan Pesawat jam 06.00 dari Bandara Adisucipto Yogyakarta menuju Bandara Juanda, Surabaya, kemudian disambung naik mobil ke Langitan, Tuban. Kemudian sorenya kembali lagi ke Jogjakarta lewat Bandara Juanda jam 18.00 WIB.
Diisela-sela perjalanan, beliau suka bercerita dan berbincang-bincang tentang berbagai hal. Saat di Juanda, beliau dawuh bertanya sambil gemujeng (tersenyum): "Saiki kowe kerja utowo usaha opo? Pada waktu itu, karena saya sudah ngajar di beberapa Madrasah dan juga aktif ceramah dan khutbah, maka saya jawab "Ngajar Kyai, ugi Ceramah". Beliau mengulangi pertanyaannya, intinya terkait kerja sing gawe maisyah lan nafkahi keluarga ke depan itu harus punya, nek ngaji lan ceramah iku khidmah, dudu kerjo, maka beliau dawuhi untuk punya pekerjaan, usaha atau bisnis, supaya bisa mandiri secara ekonomi, punya wasilah penghasilan menjemput rizki dari Gusti Allah, supaya ke depannya tidak tamak dan selalu berharap amfalib (jama' taksir dari amflop), karena mengambil upah/gaji dari ngaji/ngajar Al-Qur'an dan ilmu-ilmu Syariah---sebagaima disebutkan Iman Nawawi dalam Tibyan---terjadi ikhtilaf diantara Ulama. Imam Abu Hanifah dan imam Az Zuhri melarang, Imam Hasan Basri dan imam Ibnu Sirrin membolehkan, sementara Imam Syafi'i, Imam Malik dan Imam 'Atha membolehkan dengan syarat. Oleh karena itu, Mbah kyai Warson mengajarkan kepada saya untuk wirai dan ihtiyat dalam ngaji dan ceramah, betul-betul lillahi ta'ala.
Hal ini juga diceritakan Mbah Warson bahwa setelah menikah, beliau dan istrinya, Bu Nyai Chusnul Khotimah, membuka toko kelontong di Jalan Cuwiri, sambil tetap meneruskan menyusun kamus Al Munawwir dan tetap Istiqomah ngaji di Pondok, diantara fan ilmu yang diajarkan beliau adalah Alfiyah Ibnu Malik. Saya sebagai tulaimidz (santri kecil) ikut ngaji beliau di Mushola Timur terus pindah ke Musbar (Musholla Barat) beberapa kitab, diantaranya adalah Hikmah At-Tasyri' Wa Falsafatuhu, Tafsir Al Maraghi, Muhadzab dan Nihayatuz Zain.
Bisa dibayangkan betapa luar biasanya beliau, karena Mbah Warson adalah seorang Gus besar, Putra Ulama Ahli Al-Qur'an yaitu Simbah KH. Muhammad Moenawwir, sang pembawa sanad Tahfidz dan Qiro'ah Sab'ah dan dari Pesantren Krapyak yang sangat besar dengan santri yang tersebar ke seluruh pelosok Indonesia. Akan tetapi beliau tetap bekerja dan punya usaha bisnis.
Bisnis beliau terus berkembang, hingga mempunyai bisnis beberapa bis kota dan variasi mobil. Akan tetapi, ngaji beliau di Pesantren Krapyak tetap Istiqomah, khidmah di masyarakat juga tetap beliau lakukan. Dimulai aktif di IPNU, kemudian aktif di GP Ansor dari tahun 1960-an, hingga menjabat ketua PW GP Anshor DIY (1965-1968) dan Ketua Gerakan Generasi Muda Islam (Gemuis) Yogyakarta, organisasi gabungan Ormas Pemuda Islam DIY, diantaranya GP Anshor, Angkatan Muda Muhammadiyah, PMII, HMI dan lainnya.
Kemudian tahun 1970-an menjabat wakil ketua PWNU DIY, kemudian Musytasyar PWNU DIY dan A'wan Syuriah PBNU yang beliau jabat hingga wafat tahun 2013.
Beliau juga aktif di Politik, dimulai dari menjadi pengurus PPP pasca fusi, menjadi anggota DPRD DIY dua periode (1977-1982), kemudian menjadi dewan Syura PKB DIY, kemudian aktif di PKNU. Setelah itu, beliau mundur dari partai politik, tetapi tetap aktif dalam kegiatan politik nasional bersama Kyai-kyai sepuh pesantren lewat forum kyai Langitan.
Beliau juga aktif dalam tulis menulis dan menjabat pimpinan redaksi Duta Masyarakat Cabang Yogyakarta.
Ditengah kesibukan beliau bisnis, aktif di ormas NU dan banon-nya, menjadi politisi PPP dan Pimred Duta Masyarakat, tetapi Mbah Warson tetap Istiqomah ngaji kitab di Pesantren Krapyak.
Oleh karena itu, beliau selalu berpesan agar punya usaha, pekerjaan atau bisnis untuk ikhtiar, jangan malas bekerja. Beberapa santri yang dimentori beliau, sukses mengembangkan usaha/bisnis seperti Drs. H. Suhadi Khozin, owner LU Grafika yang bisnisnya berkembang pesat dalam dunia percetakan. Disamping bisnis Bapak Drs. H. Suhadi juga tetap aktif ngaji di Krapyak dan Khidmah di Masyarakat, baik sebagai Ketua Pengurus Korps Dakwah Masyarakat (Kodama), Pengurus PWNU DIY, Tim Pendiri SD NU dan juga ngaji di Masjid-masjid sekitar Panggungharjo.
Setelah didawuhi untuk mempunyai pekerjaan dan membuat usaha atau bisnis, pulang ke kamar komplek, saya berfikir mau usaha apa yang sesuai dengan karakter dan tujuan hidup saya. Maka saya kemudian mengikuti beberapa pelatihan, diantaranya bisnis plan, integrated financial planning, strategi fundrising dan lainnya.
Akhirnya, bersama dengan beberapa teman, kita mulai membuka bisnis, diantaranya: bisnis buku hingga mempunyai Toko Buku, Warung Makan dan Warung Empek-empek di Krapyak, Frenchise bakso kaget di Gejayan, Distributor baju Muslim ke beberapa toko baju muslim di Yogyakarta, Pemasok Ketela Pohong ke Pabrik Slondok dan lainnya.
Akan tetapi saking senangnya usaha dan bisnis ini, saya sering meninggalkan ngaji dan pondok. Ngajinya sering saya liburkan dan sering izin tidak di Pondok, akhirnya saya dipanggil lagi diluruskan sama Mbah Warson lagi bahwa "Usaha Yo usaha neng ojo ninggalke ngaji". Mungkin beliau melihat saya "kedonyan", terlalu senang dengan duniawi karena terus terang sebagai anak muda sangat ingin terlihat sukses, padahal pada waktu itu ukuran sukses di Daerah saya jika punya motor baru, mobil dan sejenisnya, sehingga kerja keras dan bisnis yang saya lakukan memang untuk tujuan sukses duniawi.
Setelah ditegur beliau, Akhirnya, menata ulang usaha dan bisnis, supaya tetap bisa ngaji dan khidmah di Masyarakat secara proporsional, ya tetap ngaji di Pondok, Ngaj khidmah di Masyarakat, tapi tetap punya hari untuk usaha dan bisnis supaya punya pendapatan untuk nafkah dan kemandirian ekonomi.
Disinilah saya teringat guru saya, Simbah KH. Zainal Abidin Munawwir yang tetap punya usaha berternak bebek walau pun beliau kyai besar dan jadi anggota DPRD DIY, karena beliau tidak pernah mengambil gajinya, karena jadi DPR itu untuk perjuangan, bukan untuk mencari gaji, sehingga untuk kebutuhan sehari-hari dicukupkan dari ternak bebek.
Disinilah Kita harus bisa menempatkan diri tentang Maqom Kasb dan Maqom Tajrid secara proporsional, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ibnu 'Athoillah As-Sakandari, sehingga pulang dari pondok ya harus melewati Maqom Kasb dulu, bekerja, berusaha atau berbisnis semampu kita, tapi jangan tinggalkan peran kita untuk tetap Istiqomah ngaji dan khidmah di Masyarakat. Baru setelah masuk Maqom Tajrid maka fokusnya untuk ngaji dan berkhidmah. Ini persis seperti dialog antara Imam Malik dan Imam Syafi'i terkait dengan usaha dan anugerah.
Yogyakarta, 3 Januari 2025
Pesantren Anwarul Masalik
M. Ikhsanudin
(Catatan redaksi: atas izin dr penulus, tulisan ini diambil dr status FB beliau. Penulis berasal dr Windusari)