Oleh Abdul Aziz Idris
Dalam lintasan sejarah mempertahankan revolusi kemerdekaan sebagian hanya mengenal peristiwa heroik 10 Nopember 1945 di Surabaya, atau pertempuran Palagan Ambarawa Semarang.
adahal di beberapa wilayah saat itu juga bergolak dan bergerak melakukan perlawanan terhadap kedatangan pasukan sekutu, Inggris di Magelang pada tanggal 31 oktober 1945 terjadi baku tembak antara kesatuan Republik, Para Pejuang dengan pasukan Inggris. Pertempuran ini berlangsung dengan sengit selama 2 hari. Dan terbukti perlawanan ini membuahkan hasil, pasukan inggris merasa terjepit karena kepungan yang dilakukan TKR, Hizbullah, dan pejuang pejuang lain. Guna menghadapi kepungan ini, Inggris kembali menggunakan cara lama seperti yang dilakukan di Semarang yakni dengan memanfaatkan tenaga para pasukan Jepang untuk membantu menghadapi tekanan yang dilakukan oleh pasukan RI.
Seperti mengulangi aksi yang dilakukan di Semarang, maka pasukan Jepang dengan ganas menyerang penduduk, dengan cara yang membabi buta mereka melakukan penembakan terhadap siapa saja dan melakukan pembunuhan dan bahkan penyembelihan. Tindakan yang mengerikan dan diluar batas kemanusian adalah ketika pasukan Jepang dan Gurkha-Inggris melakukan penyembelihan 33 penduduk desa dimana sebagian besar korbannya adalah perempuan dan anak-anak di desa Tulung. Inggris terus menekan konsentrasi perlawanan Pejuang Republik dengan menembaki pos-pos pertahanan dan siapa saja dengan pesawat pesawat tempurnya dan melakukan serangkaian pembersihan secara membabi buta.
Tindakan Inggris terhadap masyarakat di Magelang mengundang reaksi tentara Republik dan kesatuan perjuangan daerah lain datang membantu. Mereka datang dari Banyumas, Yogyakarta, dan sekitarnya. Mereka terus melakukan pengalangan dan mengutuk tindakan pasukan Inggris dan Jepang. AH. Nasution mencatat sebanyak 50.000 Laskar Sabilillah di Karesidenan Kedu mengeluarkan sikap tidak bisa menerima tindakan pasukan Inggris dan bersiap untuk terjun ke medan tempur untuk menghadapinya.
Dengan makin tingginya moral perlawanan dan makin besarnya kekuatan para pejuang melakukan pengepungan terhadap kedudukan dan markas pasukan Inggris, NICA, Belanda, dan Jepang di kawasan Tuguran, Susteran, Hotel Montagne, dan markas Batalyon I dan II. Para pejuang tersebut merupakan gabungan TKR, Hizbulloh, Sabulillah, dan badan-badan perjuangan dalam jumlah ribuan sehingga membuat Inggris terkunci dan tidak bisa keluar dari kota Magelang. Bagi pejuang Republik hanya soal waktu untuk menghabisi kekuatan pasukan Inggris di Magelang.
Karena pasukan Inggris terpojok keduddukannya di Magelang mereka melakukan diplomasi dengan pemerintah Republik saat itu, sehingga tercapai kesepakatan untuk menghentikan tembak-menembak dan kontak fisik oleh kedua belah pihak. Salah satu butir kesepakatan itu adalah pembentukan komite kontak antara pihak Republik yang terdiri 5 orang dan pihak perwakilan Inggris 4 orang.
Dengan adanya kesepakatan ini, pertempuran baik di Semarang dan Magelang terhenti terhitung sejak tanggal 3 November 1945. Pihak Republik benar-benar mematuhinya namun tetap waspada. Para Kyai di wilayah Karesidenan Kedu, Magelang, Banyumas, dan lainnya yang tergabung dalam barisan Sabilillah bahkan sudah sampai kepada kesepakatan untuk tidak sekedar bertindak sebagai pendorong bagi anggota Hizbulloh dan Fi Sabilillah dalam menghadapi Inggris, namun mereka ikut terjun langsung ke medan pertempuran. Para Kyai dengan kharisma dan pengaruhnya juga melakukan koordinasi dan seringkali menjadi tujuan untuk berdiskusi serta dimintai pendapat serta bantuan semngat bagi para perwira-perwira TKR di Magelang dan sekitarnya.
Usaha yang dilakukan adalah menyelenggarakan acara Riyadhoh Rukhaniyah pada tanggal 21 November 1945 oleh KH. Saifudin Zuhri di rumah kediaman Komandan Hizbulloh Magelang, Bapak Suroso, acara ini dihadiri 200 ulama dan Kyai. Empat Kyai terkemuka yakni KH. Dalhar Watucongol, KH. Siradj Romo Agung Payaman, KH.Alwi Randucanan Bandongan, dan KH. Mandhur Temanggung diplot sebagai motor dari penggalangan gerakan moral ini.
Dalam acara yang diselenggarakan pada waktu menjelang dinihari itu juga dihadiri komandan resimen dan batalyon TKR Magelang, Letkol Sarbini, dan Mayor Ahmad Yani. Selain untuk menyelenggarakan acara mujahadah, acara ini juga sebagai tempat untuk menyatukan visi dari badan perjuangan Hizbulloh, Sabilillah, dan kesatuan TKR di Magelang. KH. Dalhar dalam acara ini bermunajat atau mengakhiri doanya dengan Hizb an-Nashar. Pengalangan Tokoh agama, Kyai juga dilakukan panglima divisi V/Purwokerto, Kolonel Sudirman, yang memerintahkan salah satu pimpinan kesatuan Hizbulloh, Munawir Syadzali, agar mengumpulkan 40 Kyai khos untuk membantu doa dan memberikan semangat dalam menghadapi Inggris.
Hingga kemudian mengingat terbatasnya jumlah pasukan yang dimiliki, dan pertimbangan lain, meskipun sebelumnya sudah membangun kubu-kubu pertahanan dan persenjataan baru yang mengindikasikan pelanggaran mereka atas kesepakatan gencatan senjata. Inggris memutuskan untuk keluar dari Magelang dan mundur ke Semarang pada 20-21 November 1945 dengan tanpa memberitahu kepada perwakilan Republik yang tergabung dalam komite kontak.
Dalam proses pengunduran pasukan ini mereka melakukan tindakan kurang santria dengan menempatkan sebuah tank di rel kereta api di Secang sehingga jalur hubungan kereta api Magelang - Ambarawa terputus. Pengunduran pasukan Inggris ke Ambarawa tidak berlangsung lancar karena menghadapi hadangan dan pengejaran dari Hizbulloh, TKR, dan pemuda sepanjang jalan. KH. Syaifudin Zuhri segera mengumpulkan para pimpinan Hizbulloh dan Sabilillah dan menugaskan Saleh Azhari dengan didampingi Kyai Siraj Wates Magelang agar segera bersama-sama pasukan TKR mengejar pasukan sekutu ke Ambarawa.
Dikutip dari buku Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad, Zainul Milal Bizawie , dan beberapa sumber lain.
Penulis adalah Wakil Katib Syuriah PCNU Kabupaten Magelang