Foto istimewa Muktamar NU di Magelang
KH. Saifuddin Zuhri dalam memoarnya,
“Berangkat dari Pesantren”, menjelaskan romantika penyelenggaraan
muktamar ke-14 di Magelang. Perhelatan di wilayah ini bukan hanya
momentum rutinan saja, melainkan sebagai bagian dari aksi membendung
Kristenisasi yang disokong penguasa kolonial.
Menurut Kiai Saifuddin Zuhri, kota
Magelang dipilih karena terletak di titik pusat tanah Jawa yang amat
indah subur, dan makmur serta berudara sejuk. Selain itu, yang lebih
penting lagi, sejak peristiwa ditangkapnya Pangeran Diponegoro dalam
perundingan di Magelang, pada bulan Syawal 1830 M, gerakan Islam di
Magelang perlahan-lahan mulai padam. Padahal, Magelang dan sekitarnya
mempunyai jumlah ulama yang sangat banyak. Di antara mereka banyak pula
yang memangku pondok pesantren.
Sebaliknya, propaganda Kristen mengalami
kemajuan yang pesat, baik Protestan maupun Katolik. Pusat-pusat
propaganda Kristen memanjang, mulai dari Semarang, Ungaran, Ambarawa,
Magelang, Temanggung, Muntilan, Purworejo, dan Yogyakarta. Meski pusat
Muhammadiyah berkedudukan di Yogyakarta, 44 kilometer dari Magelang,
namun kegiatan umat Islam di Magelang dan sekitarnya tidak juga tampak,
tidak muncul kegiatan berarti. Satu-satunya madrasah yang tergolong
bermutu dan sudah diorganisir dengan baik hanyalah “al-Iman” yang diasuh
oleh Ustadz Sagaf al-Jufri. Juga, meskipun di Magelang ada cabang
Muhammadiyah dan Jong Islamiten Bond, namun dua organisasi ini hanya
berkisar pada lapisan bagian kecil dari kelas menengah dan tidak
menyentuh lapisan bawah, apalagi para ulama.
Oleh karena itu, kalau Nahdlatul Ulama
melangsungkan muktamar di Magelang, para ulama yang memang sudah
bercita-cita untuk berjuang secara bernidzom (terorganisasi) diharapkan
bisa terangkul. Orang yang mula-mula mengusulkan Magelang sebagai lokasi
muktamar adalah Raden Haji Mukhtar, Ketua Majelis Konsul NU di Banyumas
yang berkedudukan di Sokaraja. Usul dari pria bertubuh tegap yang
senantiasa berpakaian rapi dan wangi ini disepakati oleh segenap peserta
Muktamar NU di Menes, Banten, 1938. Uniknya, Raden Haji Mukhtar
sebenarnya tahu bila di Magelang sebenarnya belum berdiri cabang NU. Kok
bisa menyelenggarakan muktamar di sebuah kota yang sama sekali belum
berdiri cabang NU di dalamnya?
“Saya bukannya berbohong, hanya tidak
saya katakan bahwa ketika itu di Magelang belum berdiri Cabang NU,
khawatir jika hal itu diceritakan, maka para muktamirin menjadi cemas
jika Muktamar ke-14 mengalami kegagalan dan kemorat-maritan,” demikian
kata Raden Haji Mukhtar kepada KH. Saifuddin Zuhri yang termuat dalam
memoarnya, Berangkat Dari Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2013).
Persiapan muktamar ini berlangsung satu
tahun sebelumnya. Saat masuk pertama kali di Magelang, Raden Haji
Mukhtar masih belum mengenal betul seluk beluk kota ini. Berhari-hari ia
pelajari situasi dan kondisi Magelang dan sekitarnya, sesudah itu
barulah direncanakan darimana kerja harus dimulai. Ia bekerja keras
“mbabat alas” serta meratakan jalan menuju arena muktamar, didampingi
oleh Sekretaris Majelis Konsul KH. Ahmad Zuhdi, dibantu Ketua NU Cabang
Purworejo KH. Jamil dan Ketua Cabang NU Temaggung di Parakan, Mas Fandi.
Secara teknis, ia juga berkeliling
mengunjungi daerah-daerah di sekitar Magelang, ikut meramaikan shalat
berjamaah dan shalat Jumat di berbagai tempat, serta mengunjugi pondok
pesantren dan pengajian. Tema yang dikemukakan dalam pertemuan itu
adalah bahwa Magelang akan kedatangan tamu-tamu agung, para ulama.
Tujuan para ulama itu hanya satu, untuk bangkit kembali menyiarkan agama
Islam yang dulu telah dirintis Walisongo dan para ulama angkatan demi
angkatan, termasuk juga mereka yang menemani Pangeran Diponegoro dibuang
ke Manado. Mereka meninggalkan pondok-pondok pesantren, masjid-masjid
di Bagelen, Bruno, Mlaran, Lowano, Ngemplak, Salaman, Borobudur,
Kajoran, Bandongam, Tonoboyo, Tegalrejo, Meteseh dan lain sebagainya.
Berhasil! Berbagai pendekatan tersebut
menggerakkan para ulama dan masyarakat agar menjadi shahibul bait yang
baik menyambut kedatangan para tamu. Selain itu, Raden Haji Mukhtar juga
menemukan tenaga-tenaga inti yang selain bahu membahu mewujudkan
kesuksesan muktamar juga ikut mendirikan NU Cabang Magelang. Mereka itu
adalah: KH. R. Hadi Alwi dan KH. Fathoni, keduanya dari Pesantren
Tonoboyo, 6 kilometer dari kota Magelang. Haji Kodri, lurah desa Kauman
dan anaknya, Abdul Wahab, seorang wiraswasta muda yang terampil; KH.
Baidlowi, imam Masjid Jami’ Kota Magelang; KH. Muhammad Siraj, ulama
asal Wates, dan beberapa pihak lain.
Yang lebih penting, Konsul NU telah
memasuki Magelang dengan menemukan kunci pintunya: restu dan dukungan
dari seorang ulama besar di kota tersebut, yaitu KH. Dalhar, pengasuh
Pondok Pesantren Watucongol, Muntilan. Dengan demikian, Raden Haji
Mukhtar telah menemukan kunci kota Magelag dari empat penjuru: dari arah
selatan ada KH. Dalhar, dari arah utara ada KH. Mohammad Siraj, dari
arah barat ada KH. R. Hadi Alwi serta KH. Khudlori dari ar\ah timur.
Pas, sudah!
Bulan Mei 1939, beberapa bulan menjelang
penyelenggaraan acara, Raden Haji Mukhtar meresmikan pendirian Cabang NU
Magelang dengan susunan: Rais Syuriah KH. R. Hadi Alwi, Katib KH.
Abdullah Fathoni, A’wan KH. Baidlawi, Kiai Sirai, KH. Khudlori, dan
sejumlah ulama lainnya. Adapun ketua cabang dijabat oleh Haji Kodri,
Muhammad Barir menjadi wakilnya, sekretaris dijabat oleh Abdul Wahab,
dan bendahara dipegang oleh KH. Muslih dan beberapa orang komisaris.
Adapun KH. Muhammad Siraj Payaman dan KH. Dalhar Watucongol duduk
sebagai mustasyar. Dengan demikian dapat disimpulkan jika NU Cabang
Magelang hanya didirikan tiga bulan menjelang muktamar!
WAllahu A’lam Bisshawab
Al-Faatihah